Paling Popular
Terkini
Lagi berita seperti ini

Beberapa hari yang lalu di kota Groningen, Belanda, pandangan saya tertarik ke jendela sebuah kedai buku. Sebuah gambar lama dipamerkan di sana – seorang lelaki berambut cerah, bermisai lebat dan bermata terbeliak seolah-olah sedia bertengkar. Di bawah gambar itu, tercatat nama yang tak pernah saya lupakan: Multatuli.

Saya pertama kali terbaca nama Multatuli dalam Bumi Manusia, novel penulis agung Indonesia Pramoedya Ananta Toer.. Minke, protagonis novel Pram itu, digambarkan sebagai ‘anak rohani’ Max Havelaar, watak utama dan judul sebuah novel yang dikarang oleh Multatuli.

Multatuli adalah nama pena seorang pegawai kerajaan dan penulis Belanda bernama Eduard Douwes Dekker yang hidup di abad ke-19. Nama itu digubah dari sebuah frasa Latin yang bermakna, “Aku yang menderita” atau “Aku yang memikul banyak beban”.

Pada tahun 1859 novel Multatuli diterbit – Max Havelaar of de Koffijveilingen der Nederlandsche Handelmaatschappj (Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda). Novel ini menggegarkan kerajaan dan masyarakat Belanda kerana mendedahkan dan mengecam dengan lantang penderaan dan ketidakadilan sistem penjajahan dan pentadbiran kolonial di Hindia Belanda (Indonesia). Ia sekaligus mengkritik sistem feudal di tanah Jawa yang bekerjasama dengan kuasa kolonial untuk membelenggu dan mengeksploitasi rakyat.

Max Havelaar merupakan karya sastera Belanda yang amat penting bukan sahaja kerana matlamat dan kesan politiknya, tetapi juga dari segi gaya tulisannya yang mempunyai nilai sastera yang tinggi. Novel tersebut memaparkan kisah berbingkai yang berlapisan berbagai cerita di Jawa pada zaman kolonial.

Kebanyakan ceritanya menggambarkan pengalaman penolong residen Max Havelaar berdasarkan kehidupan Multatuli sendiri sebagai pegawai kerajaan di Hindia Belanda. Havelaar membela masyarakat tempatan yang tertindas, namun beliau ditentang oleh pihak atasannya dalam sistem kolonial Belanda dan juga para Bupati Jawa yang ingin menjaga kepentingan perdagangan mereka dengan Belanda.

Max Havelaar julung kali mencabar dan mendedahkan kekejaman sistem kolonial Belanda serta nasib tertindas rakyat Jawa yang terjajah. Antara lain, novel tersebut menceritakan sistem cultuurstelsel (tanam paksa) yang menindas orang tempatan di daerah Lebak, Banten.

Saijah dan Adinda

Antara cerita yang terkandung dalam Max Havelaar , kisah cinta ‘Saijah dan Adinda’ amat mengharukan dan tragis. Di sebalik kisah cinta antara seorang lelaki desa, Saijah, dan seorang gadis, Adinda, bab ini membayangkan secara berempati kehidupan harian orang Jawa yang menjadi mangsa dan korban kekejaman penjajah Belanda dan pegawai Jawa yang bekerjasama dengan kuasa kolonial.

Ia bermula dengan kerbau milik ayah Saijah yang dirampas berulang kali oleh ketua daerah. Ayah yang miskin itu terpaksa menjual kerisnya dan harta pusaka yang lain untuk membeli kerbau baru. Akhirnya, dia tidak ada barang pusaka yang lain untuk dijual dan tidak mampu menanggung keluarganya.

Multatuli menggambarkan penderitaan ayah miskin itu dengan penuh empati:

“Beberapa waktu sesudah itu ayah Saijah melarikan diri dari desanya, sebab ia takut sekali dihukum jika tidak membayar pajak tanahnya, dan ia tidak mempunyai harta pusaka lagi untuk pembeli kerbau yang lain; orang tuanya seumur hidupnya tinggal di Parangkujang, karena itu sedikit sekali meninggalkan warisan. Pun kedua mertuanya seumur hidupnya tinggal di distrik yang sama. Tapi sesudah kehilangan kerbaunya yang terakhir ia masih bertahan beberapa tahun dengan bekerja mempergunakan kerbau sewaan, tapi pekerjaan itu sangat tidak menyenangkan, dan terutama menyedihkan bagi orang yang pernah memiliki kerbau sendiri. Ibu Saijah meninggal karena dukacitanya; dan ketika itulah ayahnya dalam saat putus asa menghilang dari Banten untuk mencari pekerjaan di daerah Bogor. Tapi ia dihukum dera dengan rotan, karena meninggalkan Lebak tanpa pas, dan ia dibawa kembali oleh polisi ke Badur. Ia dimasukkan ke dalam penjara karena dianggap gila, dan saya kira memang demikian, dan karena orang kuatir bahwa ia kana mata gelap dan mengamuk, atau melakukan kesalahan lain. Tapi ia tidak lama dalam penjara, sebab tidak lama sesudah itu ia mati. Apa jadinya dengan adik-adik Saijah saya tidak tahu.”

Kisah ‘Saijah dan Adinda’ juga menceritakan cinta muda antara Saijah dan Adinda yang penuh harapan meskipun kehidupan miskin di desa. Apabila keluarga Adinda berpindah ke kawasan lain, Saijah berjanji akan mencari Adinda lalu memberinya sekeping kain sebagai peringatan. Beberapa tahun kemudian, Saijah pun mengembara untuk mencari gadis idamannya. Malangnya, saat pertemuan semula Saijah dan Adinda bukanlah di serambi cinta tetapi di medan perang dan kubur:

“…Pada suatu hari ketika pemberontak-pemberontak sekali lagi dikalahkan, ia mengembara di dalam desa yang baru saja direbut oleh tentara Belanda, jadi masih terbakar. Saijah tahu bahwa gerombolan yang dihancurkan di tempat itu, sebagian besar terdiri dari orang Banten; ia berkeliling seperti hantu di rumah-rumah yang belum terbakar seluruhnya, dan menemukan mayat ayah Adinda dengan luka kena kelewang di dada. Di sampingnya Saijah melihat ketiga saudara Adinda yang terbunuh, pemuda-pemuda, anak-anak masih ; dan sedikit lagi ke sana nampak mayat Adinda, telanjang, teraniaya dengan cara mengerikan…

"Ada sepotong kecil kain biru masuk ke dalam luka yang terbuka di dadanya, yang rupanya mengakhiri pergulatan yang lama….”

Penderitaan keluarganya di desa serta kehilangan kekasihnya ini mendesak Saijah melemparkan diri ke dalam pemberontakan menentang askar Belanda, walaupun tidak mungkin berjaya mengalahkan mereka dan pasti membawa maut.

“Lalu Saijah menyongsong beberapa orang soldadu yang dengan bedil terkokang menghalau sisa-sisa pemberontak yang masih hidup ke dalam api rumah-rumah yang sedang terbakar ; ia mendekap bayonet-bayonet pedang yang lebar itu, mendorong ke depan dengan penuh tenaga, dan masih berhasil mendesak kembali soldadu-soldadu itu dengan tenaga yang penghabisan, ketika gagang-gagang bayonet tertumbuk pada dadanya.”

Buku yang membunuh kolonialisme

Di sebuah artikel yang terbit di New York Times pada tahun 1999, Pramoedya Ananta Toer menggelar Max Havelaar sebagai “buku yang membunuh kolonialisme”. Novel Multatuli ini merangsangkan bantahan awam serta memupuk kesedaran masyarakat di Belanda terhadap ketidakadilan pentadbiran dan sistem ekonomi kolonial di Hindia Belanda.

Menurut Pramoedya: “Penerbitan Max Havelaar pada tahun 1859 tidak kurang daripada menggegarkan bumi. Sama seperti Uncle Tom’s Cabin yang membekalkan bedil kepada pergerakan penghapusan perhambaan di Amerika,” Max Havelaar menjadi senjata untuk pergerakan liberal yang berkembang pada masa itu di Belanda, yang berjuang untuk membawa pembaharuan di Indonesia.

Dibantu oleh Max Havelaar , pergerakan liberal yang bertenaga dapat memalukan kerajaan Belanda sehingga mereka mewujudkan dasar baru yang dikenali sebagai dasar etika, matlamat utama daripadanya adalah untuk menggalakkan pengairan, penghijrahan antara pulau dan pendidikan di Hindia Belanda.”

Max Havelaar mula-mula menerima banyak kritikan di masyarakat Belanda bahkan juga disensor dan dilarang, tetapi kemudiannya, novel radikal ini mencetus perdebatan yang hangat di kalangan liberal dan progresif Belanda. Akhirnya, ia menyumbang kepada Dasar Etika yang meningkatkan keadaan dan taraf kehidupan rakyat terjajah di Hindia Belanda.

Lebih lagi, Max Havelaar memupuk semangat memberontak di hati orang Jawa sendiri, yang akhirnya melahirkan semangat nasionalisme dan revolusi untuk menuntut merdeka.

Dalam kata Pram:

“Saya masih berpendapat bahwa Multatuli besar jasanya kepada bangsa Indonesia, karena dialah yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa mereka dijajah. Sebelumnya, di bawah pengaruh Jawaisme, kebanyakan orang Indonesia bahkan tidak merasa bahwa mereka dijajah.”

ADS