Most Read
Most Commented
Read more like this

"Universities are dead. Ideas are dead. The government obsession with security is like a black hole swallowing all independent thoughts" Goenawan Mohamad dalam A Nation in Waiting (1994, 2004: 237)

Wahyu Sulaiman Rendra, selepas tujuh tahun dilarang mementaskan teater dan membaca sajak (1986) oleh regim Orde Baru, dengan yakin ingin menikmati kembali kebebasan itu dengan menentang projek pembodohan kolektif di tangan Soeharto.

"Sejarah telah mengajarkan kita tentang kegunaan kecerdasan. Kecerdasan individu itu lain, kecerdasan kolektif lain lagi. Zaman Hitler adalah contoh tragik ketiadaan tingkat piawaian (standard) akal sihat kolektif. Padahal banyak orang pandai waktu itu di Jerman, tetapi ternyata dilanda oleh kebodohan umum yang begitu mengerikan, yang tidak manusiawi," katanya kepada wartawan majalah Matra (1 Ogos 1986).

Dalam wawancara yang sama, kemudian dibukukan dalam Para Tokoh Angkat Bicara: Buku 3 (1996: 5), beliau ditanya tentang sikap membangkang dan mengkritik kerajaan.

"Zaman dulu (pada 1970-an) kita senang disebut oposan (membangkang). Saya kira kita ada hak untuk jadi oposan. Dalam perkembangan sekarang, bukan soal oposisinya (pembangkang) lagi. Tetapi saya kira (kita) harus menjadi salah satu elemen alternatif. Menjadi orang yang bertanya. Menjadi orang yang melakukan verifikasi ( verification ) terhadap nilai-nilai yang ada," jawab Rendra.

"Verifikasi terhadap kesimpulan berfikir para ahli politik. Sebab, akhirnya dalam perkembangan sekarang ini, bukan soal pemerintah sahaja yang saya hadapi, yang saya pertanyakan, tetapi (mempertanyakan) politik itu sendiri."

"Sebagai seniman, sebagai budayawan, saya mempertanyakan operasi (dan proses) politik, entah itu oleh pemerintah, entah itu oleh (parti) pembangkang," jawabnya lagi, yang dilarang bersama sejumlah lagi intelektual sejak akhir 1970-an.

Kumpulan cendekiawan ini, dikenali 'Kumpulan 50' atau 'Petisyen 50', yang muncul pada tahun 1979 dan 1980 terdiri daripada pegawai kerajaan yang telah bersara dan sejumlah cendekiawan awam. Mereka mengkritik penggunaan tentera dalam politik parti kerajaan Golkar dan menuntut reformasi. Soeharto menekan mereka dengan larangan ke luar negara (menarik pasport) dan juga mengharamkan foto dan suara mereka muncul di akhbar.

Unlocking Article
Unlocking Article
ADS